Akibat Ngintip Tetangga - Kegiatan ronda memang rutin diadakan di kampugku selama ini masih berjalan baik, setiap malam pasti ada ship terdiri dari 3 orang warga, pada malam itu aku dapat giliran untuk untuk jaga pada malam minggu, tepat pukul 00.30 yang seharusnya menemaniku ronda malam belum kunjung datang karena kegitan ronda sukarela maka aku juga tidak memperdulikan mau datang atau tidak.
Dan aku mengelilingi kampungku karena aku belum mengantuk aku mengelilingi rumah rumah penduduk dengan sarung dan senter seperti biasanya, karena udaranya dingin aku menyalakan rokokku, pada sampai di rumah Pak Rudi aku melihat kaca yang belum tertutup dengan benar dan aku mendekati itu kelupaan atau ada orang yang masuk dengan hati-hati kudekati, tetapi ternyata kain korden tertutup rapi.
Kupikir kemarin sore pasti Pak Rudi lupa menutup kaca , tetapi langsung menutup kain kordennya saja.
Mendadak aku mendengar suara aneh, seperti desahan seseorang. Kupasang telinga baik-baik, ternyata
suara itu datang dari dalam kamar. Kudekati pelan-pelan, dan darahku berdesir, ketika ternyata itu
suara orang bersetubuh. Nampaknya ini kamar tidur Pak Rudi dan istrinya.
Aku lebih mendekat lagi kejendela tersebut, suaranya desahan nafas yang memburu dan gemerisik dan goyangan tempat tidur lebih jelas terdengar ditelingaku.
“ssshhh… emm… aaghh… aagghh, terdengar suara dengusan dan suara orang seperti menahan sesuatu. Jelas itu suara Bu Rudi yang ditindih suaminya. Terdengar pula bunyi kecepak-kecepok, nampaknya penis Pak Rudi sedang mengocok liang vagina Bu Rudi
Hadehhh, aku langsung naik darah, penisku sudah berdiri keras bisa dikatakan seperti kayu jati. Aku betul-betul iri membayangkan Pak Rudi menggumuli istrinya. Alangkah nikmatnya menyetubuhi Bu Rudi yang cantik dan bahenol itu..
“Oohh, aaghhhh buuu, aku mau keluar, emmm... emmmm...” terdengar suara Pak Rudi dengan Nafas seperti kelelahan.
Suara kecepak-kecepok makin cepat, dan kemudian berhenti. Nampaknya Pak Rudi sudah ejakulasi dan
pasti penisnya dibenamkan dalam-dalam ke dalam vagina Bu Rudi. Selesailah sudah persetubuhan itu, aku
pelan-pelan meninggalkan tempat itu dengan kepala berdenyut-denyut dan penis yang masih berdiri.
Sejak malam itu, aku jadi sering mengendap-endap mengintip kegiatan suami-istri itu di tempat
tidurnya.
Walaupun jendala kamar tidak terbuka lagi, namun suaranya masih jelas terdengar dari sela-sela kaca yang
tidak rapat benar. Aku jadi seperti detektip proesional yang mengamati kegiatan mereka di sore hari.
Biasanya pukul 20.00 mereka masih melihat siaran TV, dan sesudah itu mereka mematikan lampu dan masuk
ke kamar tidurnya.
Aku mulai melihat situasi apakah aman untuk mengintip mereka. Jika sudah aman, aku akan mendekati kamar mereka. Kadang-kadang mereka hanya bercakap-cakap sebentar, terdengar bunyi gemerisik (barangkali memasang selimut), lalu sepi. Pasti mereka terus tidur.
Tetapi apabila mereka masuk kamar, bercakap-cakap, terdengar ketawa-ketawa kecil mereka, jeritan lirih
Bu Rudi yang kegelian (barangkali dia digelitik, dicubit atau diremas buah dadanya oleh Pak Rudi), dapat dipastikan akan diteruskan dengan persetubuhan.
Dan aku pasti mendengarkan sampai selesai. Rasanya seperti kecanduan dengan suara-suara Pak Rudi dan
khususnya suara Bu Rudi yang keenakan disetubuhi suaminya. Hari-hari selanjutnya berjalan seperti biasa. Apabila aku bertemu Bu Rudi juga biasa-biasa saja, namun tidak dapat dipungkiri, aku jadi jatuh cinta sama istri Pak Rudi itu.
Orangnya memang cantik, dan bodynya seperti gitar. Khususnya pantat dan buah
dadanya yang besar dan bagus. Aku menyadari bahwa hal itu tidak akan mungkin, karena Bu Rudi istri orang. Kalau aku berani menggoda Bu Rudi pasti jadi masalah besar di kampungku.
Bisa-bisa aku dipukuli atau diusir dari kampungku. Tetapi nasib orang tidak ada yang tahu. Ternyata
aku akhirnya dapat menikmati keindahan tubuh Bu Rudi.
Pada suatu hari aku mendengar Pak Rudi dirawat di rumah sakit, katanya operasi wasirnya. Sebagai
tetangga dan masih bujangan aku banyak waktu untuk menengoknya di rumah sakit. Dan yang penting aku
mencoba membangun hubungan yang lebih akrab dengan Bu Rudi
.
Pada suatu sore, aku menengok di rumah sakit bersamaan dengan adiknya Pak Rudi. Sore itu, mereka
sepakat Bu Rudi akan digantikan adiknya menunggu di rumah sakit, karena Bu Rudi sudah beberapa hari
tidak pulang. Aku menawarkan diri untuk pulang bersamaku. Mereka setuju saja dan malah berterima kasih. Terus terang kami sudah menjalin hubungan lebih akrab dengan keluarga itu.
Sehabis mahgrib aku bersama Bu Rudi pulang. Dalam mobilku kami mulai mengobrol, mengenai sakitnya Pak Rudi. Katanya seminggu lagi sudah boleh pulang.
Aku mulai mencoba untuk berbicara lebih dekat lagi, atau katakanlah lebih kurang ajar. Inikan
kesempatan bagus sekali untuk mendekatai Bu Rudi.
“Bu, maaf yaa. ngomong-ngomong Bu Rudi sudah berkeluarga sekitar 3 tahun kok belum diberi momongan
yaa”, kataku hati-hati.
“Ya, itulah Dik Budi. Kami kan hanya lakoni. Barangkali Tuhan belum mengizinkan”, jawab Bu Erkam.
“Tapi anu bu… anuu.. bikinnya kan jalan terus.” godaku. “Ooh apa, ooh. kalau itu sih iiiya Dik
Budi” jawab Bu Rudi agak kikuk.
Sebenarnya kan aku tahu, mereka setiap minggunya minmal 2 kali bersetubuh dan terbayang kembali
desahan Bu Rudi yang keenakan. Darahku semakin berdesir-desir. Aku semakin nekad saja.
“Tapi, kok belum berhasil juga yaa bu?” lanjutku.
“Ya, itulah, kami berusaha terus. Tapi ngomong-ngomong kapan Dik Budi kimpoi. Sudah kerja, sudah punya
mobil, cakep lagi. Cepetan dong. Nanti keburu tua lhoo” hehehe, kata Bu Rudi sambil tertawa.
“Eeh, benar nih Bu Rudi. Aku cakep niih. Ah kebetulan, tolong carikan aku Bu. Tolong carikan yang
kayak Ibu Rudi ini lhoo”, kataku menggodanya.
“Lho, kok hanya kayak saya. Yang lain yang lebih cakep kan banyak. Saya khan sudah tua, jelek lagi”,
katanya sambil ketawa.
Aku harus dapat memanfaatkan situasi. Harus, Bu Rudi harus aku dapatkan. “Eeh, Bu Rudi. Kita kan
nggak usah buru-buru nih.
Di rumah Bu Rudi juga kosong. Kita cari makan dulu yaa. Mauu yaa bu, mau yaa”, ajakku dengan penuh
kekhawatiran jangan-jangan dia menolak.
“Tapi nanti kemaleman lo Dik”, jawabnya.
“Aah, baru jam tujuh. Mau ya Buu”, aku sedikit memaksa.
“Yaa gimana yaa… ya deh terserah Dik Budi deh. Tapi nggak malam-malam lho.” Bu Rudi setuju. Batinku
bersorak.
Kami berehenti di warung bakmi yang terkenal. Sambil makan kami terus mengobrol. Jeratku semakin aku
persempit.
“Eeh, aku benar-benar tolong dicarikan istri yang kayak Bu Rudi dong Bu. benar nih. Soalnya begini
bu, tapii eeh nanti Bu Rudi marah sama saya. Nggak usaah aku katakan saja deh”, kubuat Bu Rudi
penasaran.
“Emangnya kenapa siih.” Bu Rudi memandangku penuh tanda tanya.
“Tapi janji nggak marah lho.” kataku memancing. Dia mengangguk kecil. “Anu bu… tapi janji tidak marah
lho yaa.”
“Bu Rudi terus terang aku terobsesi punya istri seperti Bu Rudi.
Aku benar-benar bingung dan seperti orang gila kalau memikirkan Bu Rudi. Aku menyadari ini nggak
betul. Bu Rudi kan istri tetanggaku yang harus aku hormati.
Aduuh, maaf, maaf sekali bu. aku sudah kurang ajar sekali”, kataku menghiba. Bu Rudi melongo,
memandangiku. sendoknya tidak terasa jatuh di piring.
Bunyinya mengagetkan dia, dia tersipu-sipu, tidak berani memandangiku lagi.
Sampai selesai kami jadi berdiam-diaman. Kami berangkat pulang. Dalam mobil aku berpikir, ini sudah
telanjur basah. Katanya laki-laki harus nekad untuk menaklukkan wanita. Nekad kupegang tangannya
dengan tangan kiriku, sementara tangan kananku memegang setir.
Di luar dugaanku, Bu Erkam balas meremas tanganku. Batinku bersorak. Aku tersenyum penuh kemenangan.
Tidak ada kata-kata, batin kami, perasaan kami telah bertaut. Pikiranku melambung, melayang-layang.
Mendadak ada sepeda motor menyalib mobilku. Aku kaget.
“Awaas! hati-hati!” Bu Rudi menjerit kaget. “Aduh nyalib kok nekad amat siih”, gerutuku.
“Makanya kalau nyetir jangan macam-macam”, kata Bu Rudi.
Kami tertawa. Kami tidak membisu lagi, kami ngomong, ngomong apa saja. Kebekuan cair sudah. Sampai dirumah aku hanya sampai pintu masuk, aku lalu pamit pulang. Di rumah aku mencoba untuk tidur.
Tidak bisa. Nonton siaran TV, tidak nyaman juga. Aku terus membayangkan Bu Rudi yang sekarang
sendirian, hanya ditemani pembantunya yang tua di kamar belakang. Ada dorongan sangat kuat untuk
mendatangi rumah Bu Rudi.
Berani nggaak, berani nggak. Mengapa nggak berani. Entah setan mana yang mendorongku, tahu-tahu aku
sudah keluar rumah. Aku mendatangi kamar Bu Rudi. Dengan berdebar-debar, aku ketok pelan-pelan kaca
kamarnya, “Buu Rudi, aku Budi”, kataku lirih.
Terdengar gemerisik tempat tidur, lalu sepi. Mungkin Bu Rudi bangun dan takut. Bisa juga mengira aku
maling.
“Aku Budi”, kataku lirih. Terdengar gemerisik. Kain korden terbuka sedikit.
pintu jendela terbuka sedikit. “Lewat belakang!” kata Bu Rudi. Aku menuju ke belakang ke pintu dapur. Pintu terbuka, aku masuk, pintu tertutup kembali.
Aku nggak tahan lagi, Bu Rudi aku peluk erat-erat, kuciumi pipinya, hidungnya, bibirnya dengan lembut
dan mesra, penuh kerinduan. Bu Rudi membalas memelukku, wajahnya disusupkan ke dadaku.
“Aku nggak bisa tidur”, bisikku.
“Aku juga”, katanya sambil memelukku erat-erat.
Dia melepaskan pelukannya. Aku dibimbingnya masuk ke kamar tidurnya. Kami berpelukan lagi, berciuman
lagi dengan lebih bernafsu.
“Buu, aku kangen bangeeet. Aku kangen”, bisikku sambil terus menciumi dan membelai punggungnya. Nafsu
kami semakin menggelora. Aku ditariknya ke tempat tidur.
Bu Rudi membaringkan dirinya. Tanganku menyusup ke buah dadanya yang besar dan empuk, aduuh nikmat
sekali, kuelus buah dadanya dengan lembut, kuremas pelan-pelan. Bu Rudi menyingkapkan dasternya ke
atas, dia tidak memakai BH. Aduh buah dadanya kelihatan putih dan menggung.
Aku nggak tahan lagi, kuciumi, kukulum pentilnya, kubenamkan wajahku di kedua buah dadanya, sampai aku nggak bisa bernapas. Sementara tanganku merogoh kemaluannya yang berbulu tebal. Celana dalamnya
kupelorotkan, dan Bu Rudi meneruskan ke bawah sampai terlepas dari kakinya.
Dengan sigap aku melepaskan sarung dan celana dalamku. Penisku langsung tegang tegak menantang. Bu
Rudi segera menggenggamnya dan dikocok-kocok pelan dari ujung penisku ke pangkal pahaku. Aduuh,
rasanya geli dan nikmat sekali. Aku sudah nggak sabar lagi. Aku naiki tubuh Bu Rudi, bertelekan pada
sikut dan dengkulku.
Kaki Bu Rudi dikangkangkannya lebar-lebar, penisku dibimbingnya masuk ke liang vaginanya yang sudah
basah. Digesek-gesekannya di bibir kemaluannya, makin lama semakin basah, kepala penisku masuk,
semakin dalam, semakin… dan akhirnya blees, masuk semuanya ke dalam kemaluan Bu Rudi.
Aku turun-naik pelan-pelan dengan teratur. Aduuh, nikmat sekali. Penisku dijepit kemaluan Bu Erkam
yang sempit dan licin. Makin cepat kucoblos, keluar-masuk, turun-naik dengan penuh nafsu.
“Aduuh, Dik Budi, Dik Budii… enaak sekali, yang cepaat.. teruus”, bisik Bu Rudi sambil mendesis-
desis.
Kupercepat lagi. Suaranya vagina Bu Rudi kecepak-kecepok, menambah semangatku.
“Dik Budiii aku mau muncaak… muncaak, teruus… teruus”, Aku juga sudah mau keluar.
Aku percepat, dan penisku merasa akan keluar. Kubenamkan dalam-dalam ke dalam vagina Bu Rudi sampai amblaas. Pangkal penisku berdenyut-denyut, spermaku muncrat-muncrat di dalam vagina Bu Rudi.
Kami berangkulan kuat-kuat, napas kami berhenti. Saking nikmatnya dalam beberapa detik nyawaku
melayang entah kemana. Selesailah sudah. Kerinduanku tercurah sudah, aku merasa lemas sekali tetapi
puas sekali.
Kucabut penisku, dan berbaring di sisinya. Kami berpelukan, mengatur napas kami. Tiada kata-kata yang
terucapkan, ciuman dan belaian kami yang berbicara.
“Dik Budi, aku curiga, salah satu dari kami mandul. Kalau aku subur, aku harap aku bisa hamil dari
spermamu. Nanti kalau jadi aku kasih tahu. Yang tahu bapaknya anakku kan hanya aku sendiri kan. Dengan
siapa aku membuat anak”, katanya sambil mencubitku.
Malam itu pertama kali aku menyetubuhi Bu Rudi tetanggaku. Beberapa kali kami berhubungan sampai aku
kimpoi dengan wanita lain. Bu Rudi walaupun cemburu tapi dapat memakluminya.
Keluarga Pak Rudi sampai saat ini hanya mempunyai satu anak perempuan yang cantik. Apabila di
kedepankan, Bu Rudi sering menciumi anak itu, sementara matanya melirikku dan tersenyum-senyum manis.
Tetanggaku pada meledek Bu Rudi, mungkin waktu hamil Bu Erkam benci sekali sama aku.
Karena anaknya yang cantik itu mempunyai mata, pipi, hidung, dan bibir yang persis seperti mata, pipi,
hidung, dan bibirku.
Seperti telah anda ketahui hubunganku dengan Bu Rudi istri tetanggaku yang cantik itu tetap berlanjut
sampai kini, walaupun aku telah berumah tangga. Namun dalam perkimpoianku yang sudah berjalan dua
tahun lebih, kami belum dikaruniai anak.
Istriku tidak hamil-hamil juga walaupun penisku kutojoskan ke vagina istriku siang malam dengan penuh
semangat. Kebetulan istriku juga mempunyai nafsu seks yang besar. Baru disentuh saja nafsunya sudah
naik.
Biasanya dia lalu melorotkan celana dalamnya, menyingkap pakaian serta mengangkangkan pahanya agar
vaginanya yang tebal bulunya itu segera digarap. Di mana saja, di kursi tamu, di dapur, di kamar
mandi, apalagi di tempat tidur, kalau sudah nafsu, ya aku masukkan saja penisku ke vaginanya.
Istriku juga dengan penuh gairah menerima coblosanku. Aku sendiri terus terang setiap saat melihat
istriku selalu nafsu saja deh. Memang istriku benar-benar membuat hidupku penuh semangat dan gairah.
Tetapi karena istriku tidak hamil-hamil juga aku jadi agak kawatir. Kalau mandul, jelas aku tidak.
Karena sudah terbukti Bu Rudi hamil, dan anakku yang cantik itu sekarang menjadi anak kesayangan
keluarga Pak Rudi.
Apakah istriku yang mandul? Kalau melihat fisik serta haidnya yang teratur, aku yakin istriku subur
juga. Apakah aku kena hukuman karena aku selingkuh dengan Bu Rudi? aah, mosok.
Nggak mungkin itu. Apakah karena dosa? Waah, mestinya ya memang dosa besar. Tapi karena menyetubuhi Bu
Erkam itu enak dan nikmat, apalagi dia juga senang, maka hubungan gelap itu perlu diteruskan,
dipelihara, dan dilestarikan.
Untuk mengatur perselingkuhanku dengan Bu Rudi, kami sepakat dengan membuat kode khusus yang hanya
diketahui kami berdua. Apabila Pak Rudi tidak ada di rumah dan benar-benar aman, Bu Rudi memadamkan
lampu di sumur belakang rumahnya.
Biasanya lampu 5 watt itu menyala sepanjang malam, namun kalau pada pukul 20.00 lampu itu padam,
berarti keadaan aman dan aku dapat mengunjungi Bu Rudi. Karena dari samping rumahku dapat terlihat
belakang rumah Bu Rudi, dengan mudah aku dapat menangkap tanda tersebut.
Tetapi pernah tanda itu tidak ada sampai 1 atau 2 bulan, bahkan 3 bulan. Aku kadang-kadang jadi agak
jengkel dan frustasi (karena kangen) dan aku mengira juga Bu Rudi sudah bosan denganku. Tetapi
ternyata memang kesempatan itu benar-benar tidak ada, sehingga tidak aman untuk bertemu.
Pada suatu hari aku berpapasan dengan BuRudi di jalan dan seperti biasanya kami saling menyapa
baik-baik. Sebelum melanjutkan perjalanannya, dia berkata, “Dik Budi, besok malam minggu ada keperluan
nggak?”
“Kayaknya sih nggak ada acara kemana-mana. Emangnya ada apa?” jawabku dengan penuh harapan karena sudah hampir satu bulan kami tidak bermesraan.
“Nanti ke rumah yaa!” katanya dengan tersenyum malu-malu.
“Emangnya Pak Rudi nggak ada?” kataku.
Dia tidak menjawab, cuma tersenyum manis dan pergi meneruskan perjalanannya. Walaupun sudah biasa,
darahku pun berdesir juga membayangkan pertemuanku malam minggu nanti.
Seperti biasa malam minggu adalah giliran ronda malamku. Istriku sudah tahu itu, sehingga tidak
menaruh curiga atau bertanya apa-apa kalau pergi keluar malam itu. Aku sudah bersiap untuk menemui Bu
Rudi.
Aku hanya memakai sarung, tidak memakai celana dalam dan kaos lengan panjang biar agak hangat. Dan
memang kalau tidur aku tidak pernah pakai celana dalam tetapi hanya memakai sarung saja. Rasanya lebih
rileks dan tidak sumpek, serta penisnya biar mendapat udara yang cukup setelah seharian dipepes dalam
celana dalam yang ketat.
Waktu menunjukkan pukul 22.00. Lampu belakang rumah Bu Erkam sudah padam dari Erkam. Aku berjalan
memutar dulu untuk melihat situasi apakah sudah benar-benar sepi dan aman. Setelah yakin aman, aku
menuju ke samping rumah Bu Rudi.
Aku ketok kaca jendela kamarnya. Tanpa menunggu jawaban, aku langsung menuju ke pintu belakang. Tidak berapa lama terdengar kunci dibuka. Pelan pintu terbuka dan aku masuk ke dalam. Pintu ditutup kembali.
Aku berjalan beriringan mengikuti Bu Rudi masuk ke kamar tidurnya. Setelah pintu ditutup kembali,
kami langsung berpelukan dan berciuman untuk menyalurkan kerinduan kami. Kami sangat menikmati
kemesraan itu, karena memang sudah hampir satu bulan kami tidak mempunyai kesempatan untuk
melakukannya.
Setelah itu, Bu Rudi mendorongku, tangannya di pinggangku, dan tanganku berada di pundaknya. Kami
berpandangan mesra, Bu Rudi tersenyum manis dan memelukku kembali erat-erat. Kepalanya disandarkan di dadaku.
“Paa, sudah lama kita nggak begini”, katanya lirih. Bu Rudi sekarang kalau sedang bermesraan atau
bersetubuh memanggilku Papa. Demikian juga aku selalu membisikkan dan menyebutnya Mama kepadanya.
Nampaknya Bu Rudi menghayati betul bahwa Nia, anaknya yang cantik itu bikinan kami berdua.
“Pak Rudi sedang kemana sih maa”, tanyaku.
“Sedang mengikuti piknik karyawan ke Pangandaran. Aku sengaja nggak ikut dan hanya Nia saja yang ikut.
Tenang saja, pulangnya baru besok sore”, katanya sambil terus mendekapku.
“Maa, aku mau ngomong nih”, kataku sambil duduk bersanding di tempat tidur. Bu Rudi diam saja dan
memandangku penuh tanda tanya.
“Maa, sudah dua tahun lebih aku berumah tangga, tetapi istriku belum hamil-hamil juga. Kamu tahu,
mustinya secara fisik, kami tidak ada masalah.
Aku jelas bisa bikin anak, buktinya sudah ada kan. Aku nggak tahu kenapa kok belum jadi juga. Padahal
bikinnya tidak pernah berhenti, siang malam”, kataku agak melucu. Bu Rudi memandangku.
“Pa, aku harus berbuat apa untuk membantumu. Kalau aku hamil lagi, aku yakin suamiku tidak akan
mengijinkan adiknya Nia kamu minta menjadi anak angkatmu. Toh anak kami kan baru dua orang nantinya,
dan pasti suamiku akan sayang sekali.
Untukku sih memang seharusnya bapaknya sendiri yang mengurusnya. Tidak seperti sekarang, keenakan dia.
Cuma bikin doang, giliran sudah jadi bocah orang lain dong yang ngurus”, katanya sambil merenggut
manja. Aku tersenyum kecut
“Jangan-jangan ini hukuman buatku ya maa, Aku dihukum tidak punya anak sendiri. Biar tahu rasa”,
kataku.
“Ya sabar dulu deh paa, mungkin belum pas saja. Spermamu belum pas ketemu sama telornya Rina (nama
istriku). Siapa tahu bulan depan berhasil”, katanya menghiburku.
“Ya mudah-mudahan. Tolong didoain yaa…”
“Enak saja. Didoain? Mustinya aku kan nggak rela Papa menyetubuhi Rina istrimu itu. Mustinya Papa kan
punyaku sendiri, aku monopoli. Nggak boleh punya Papa masuk ke perempuan lain kan.
Kok malah minta didoain. Gimana siih”, katanya manja dan sambil memelukku erat-erat.
Benar juga, mestinya kami ini jadi suami-istri, dan Nia itu anak kami.
“Maa, kalau kita ngomong-ngomong seperti ini, jadinya nafsunya malah jadi menurun lho. Jangan-jangan
nggak jadi main nih”, kataku menggoda.
“Iiih, dasar”, katanya sambil mencubit pahaku kuat-kuat.
“Makanya jangan ngomong saja. Segera saja Mama ini diperlakukan sebagaimana mestinya. Segera digarap
doong!” katanya manja.
Kami berpelukan dan berciuman lagi. Tentu saja kami tidak puas hanya berciuman dan berpelukan saja.
Kutidurkan dia di tempat tidur, kutelentangkan. Bu Rudi nurut saja. Pasrah saja mau diapain.
Dia memakai daster dengan kancing yang berderet dari atas ke bawah. Kubuka kancing dasternya satu per
satu mulai dari dada terus ke bawah. Kusibakkan ke kanan dan ke kiri bajunya yang sudah lepas
kancingnya itu. Menyembullah buah dadanya yang putih menggunung (dia sudah tidak pakai BH). Celana
dalam warna putih yang menutupi vaginanya yang nyempluk itu aku pelorotkan.
Aku benar-benar menikmati keindahan tubuh istri gelapku ini. Saat satu kakinya ditekuk untuk
melepaskan celana dalamnya, gerakan kakinya yang indah, vaginanya yang agak terbuka, aduh pemandangan itu sungguh indah.
Benar-benar membuatku menelan ludah. Wajah yang ayu,buah dada yang putih menggunung, perut yang
langsing, vagina yang nyempluk dan agak terbuka, kaki yang indah agak mengangkang, sungguh mempesona.
Aku tidak tahan lagi. Aku lempar sarungku dan kaosku entah jatuh dimana. Aku segera naik di atas tubuh Bu Rudi. Kugumuli dia dengan penuh nafsu. Aku tidak peduli Bu Rudi megap-megap keberatan aku tindih sepenuhnya. Habis gemes banget, nafsu banget sih.
“Uugh jangan nekad tho. Berat nih”, keluh Bu Rudi.
Aku bertelekan pada telapak tanganku dan dengkulku. Penisku yang sudah tegang banget aku paskan ke
vaginanya. Terampil tangan Bu Rudi memegangnya dan dituntunnya ke lubang vaginanya yang sudah basah.
Tidak ada kesulitan lagi, masuklah semuanya ke dalam vaginanya. Dengan penuh semangat kukocok vagina
Bu Rudi dengan penisku. Bu Rudi semakin naik, menggeliat dan merangkulku, melenguh dan merintih.
Semakin lama semakin cepat, semakin naik, naik, naik ke puncak.
“Teruuus, teruus paa.. sshh… ssh…” bisik Bu Rudi
“Maa, aku juga sudah mau… keluaarr”
“Yang dalam paa… yang dalamm. Keluarin di dalaam Paa… Paa… Adduuh Paa nikmat banget Paa…, ouuch..”,
jeritnya lirih yang merangkulku kuat-kuat.
Kutekan dalam-dalam penisku ke vaginanyanya. Croot, cruuut, crreeet, keluarlah spermaku di dalam rahim
istri gelapku ini. Napasku seperti terputus. Kenikmatan luar biasa menjalar kesuluruh tubuhku. Bu
Erkam menggigit pundakku. Dia juga sudah mencapai puncak. Beberapa detik dia aku tindih dan dia
merangkul kuat-kuat.
Akhirnya rangkulannya terlepas. Kuangkat tubuhku. Penisku masih di dalam, aku gerakkan pelan-pelan,
aduh geli dan ngilu sekali sampai tulang sumsum. Vaginanya licin sekali penuh spermaku.
Kucabut penisku dan aku terguling di samping Bu Rudi. Bu Rudi miring menghadapku dan tangannya
diletakkan di atas perutku.
Dia berbisik, “Paa, Nia sudah cukup besar untuk punya adik. Mudah-mudahan kali ini langsung jadi ya
paa.
Aku ingin dia seorang laki-laki. Sebelum Papa Rudi mengeluh Rina belum hamil, aku memang sudah
berniat untuk membuatkan Nia seorang adik. Sekalian untuk test apakah Papa masih joos apa tidak. Kalau
aku hamil lagi berarti Papa masih joosss.
Kalau nanti pengin menggendong anak, ya gendong saja Nia sama adiknya yang baru saja dibuat ini.” Dia
tersenyum manis.
Aku diam saja. menerawang jauh, alangkah nikmatnya bisa menggendong anak-anakku.
Malam itu aku bersetubuh lagi. Sungguh penuh cinta kasih, penuh kemesraan. Kami tuntaskan kerinduan
dan cinta kasih kami malam itu. Dan aku menunggu dengan harap-harap cemas, jadikah anakku yang kedua
di rahim istri gelapku ini?
Cerita Sex, Cerita Sex Dewasa, Cerita Bokep, Cerita Seks, Cerita
Panas Indonesia, Cerita Dewasa, Cerita Ngentot, Cerita Hot, Cerita
Porno, Kisah Seks, Kisah Sex.
No comments:
Post a Comment